Monday, April 20, 2015

Pornography



Pornography merupakan jenis kejahatan dengan menyajikan bentuk tubuh tanpa busana, erotis, dan kegiatan seksual lainnya dengan tujuan merusak moral. Penggambaran tubuh manusia atau perilaku seksualitas manusia secara terbuka (eksplisit) dengan tujuan membangkitkan berahi (gairah seksual).

Pornografi mempunyai sejarah yang panjang. Karya seni yang secara seksual bersifat sugestif dan eksplisit sama tuanya dengan karya seni yang menampilkan gambar-gambar yang lainnya. Foto-foto yang eksplisit muncul tak lama setelah ditemukannya fotografi. Karya-karya film yang paling tuapun sudah menampilkan gambar-gambar telanjang maupun gambaran lainnya yang secara seksual bersifat eksplisit.
Manusia telanjang dan aktivitas-aktivitas seksual ditampilkan dalam sejumlah karya seni paleolitik (mis. patung Venus), namun tidak jelas apakah tujuannya adalah membangkitkan rangsangan seksual. Sebaliknya, gambar-gambar itu mungkin mempunyai makna spiritual. Ada sejumlah lukisan porno di tembok-tembok reruntuhan bangunan Romawi di Pompeii. Salah satu contoh yang menonjol adalah gambar tentang sebuah bordil yang mengiklankan berbagai pelayanan seksual di dinding di atas masing-masing pintu.

Di Pompeii orang pun dapat menjumpai gambaran zakar dan buah zakar yang ditoreh di sisi jalan, menunjukkan jalan ke wilayah pelacuran dan hiburan, untuk menunjukkan jalan kepada para pengunjung. Para arkeolog di Jerman melaporkan pada April 2005 bahwa mereka telah menemukan apa yang mereka yakini sebagai sebuah gambaran tentang adegan porno yang berusia 7.200 tahun yang melukiskan seorang laki-laki yang sedang membungkuk di atas seorang perempuan dalam cara yang memberikan kesan suatu hubungan seksual. Gambaran laki-laki itu diberi nama Adonis von Zschernitz. 
Buku-buku komik porno yang dikenal sebagai kitab suci Tijuana mulai muncul di AS pada tahun 1920-an.
 
Pada paruhan kedua abad ke-20, pornografi di Amerika Serikat berkembang dari apa yang disebut "majalah pria" seperti Playboy dan Modern Man pada 1950-an. Majalah-majalah ini menampilkan perempuan yang telanjang atau setengah telanjang perempuan, kadang-kadang seolah-olah sedang melakukan masturbasi, meskipun alat kelamin mereka ataupun bagian-bagiannya tidak benar-benar diperlihatkan. Namun pada akhir 1960-an, majalah-majalah ini, yang pada masa itu juga termasuk majalah Penthouse, mulai menampilkan gambar-gambar yang lebih eksplisit, dan pada akhirnya pada 1990-an, menampilkan penetrasi seksual, lesbianisme dan homoseksualitas, seks kelompok, masturbasi, dan fetishes.
Film-film porno juga hampir sama usianya dengan media itu sendiri. Menurut buku Patrick Robertson, Film Facts, "film porno yang paling awal, yang dapat diketahui tanggal pembuatannya adalah A L'Ecu d'Or ou la bonne auberge", yang dibuat di Prancis pada 1908. Jalan ceritanya menggambarkan seorang tentara yang kelelahan yang menjalin hubungan dengan seorang perempuan pelayan di sebuah penginapan. El Satario dari Argentina mungkin malah lebih tua lagi. Film ini kemungkinan dibuat antara 1907 dan 1912. Robertson mencatat bahwa "film-film porno tertua yang masih ada tersimpan dalam Kinsey Collection di Amerika. Sebuah film menunjukkan bagaimana konvensi-konvensi porno mula-mula ditetapkan. Film Jerman Am Abend (sekitar 1910) adalah, demikian tulis Robertson, "sebuah film pendek sepuluh menit yang dimulai dengan seorang perempuan yang memuaskan dirinya sendiri di kamarnya dan kemudian beralih dengan menampilkan dirinya sedang berhubungan seks dengan seorang laki-laki, melakukan fellatio dan penetrasi anal." (Robertson, hlm. 66)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 44 TAHUN 2008

Bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara;
  1. bahwa pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi semakin berkembang luas di tengah masyarakat yang mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia;
  2. bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pornografi yang ada saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c Telah dibentuk Undang-Undang tentang Pornografi;
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008

Yang dimaksud dengan:
  1. Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
  2. Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.
  3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
  4. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
Undang undang tentang pornografi  berasaskan pada  Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap
harkat dan martabat kemanusiaan, kebinekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara.
Undang-Undang tersebut  bertujuan:
  1. mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan;
  2. menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk; memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat;
  3. memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan; dan
  4. mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.
LARANGAN DAN PEMBATASAN

Sebagaimana yang dimaksud dan disebut di dalam Pasal 4 Undang- undang No 44 Tahun 2008, adalah
  1. Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
    1. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
    2. kekerasan seksual
    3.  masturbasi atau onani;
    4. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
    5. alat kelamin; atau
    6. pornografi anak.
  2. Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:
    1. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
    2.  menyajikan secara eksplisit alat kelamin
    3. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau
    4. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.

Dari beberapa ketentuan tersebut diatas juga ditegaskan pada ketentuan-ketentuan lain, sebagai berikut :
a.       Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
b.      Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.
c.       Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
d.      Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.
e.       Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi.
f.        Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.
g.       Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10.
h.       Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi.

PERLINDUNGAN ANAK

Didalam ketentuan undang undang undang pornografi juga di sebutkan batasan-batasan anak dan atau perlindungan terhadap anak, sebagaimana dimaksud pada Pasal 15, yaitu :
a.       Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi pornografi.
b.       Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat berkewajiban memberikan pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
c.       Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental diatur dengan Peraturan Pemerintah.

PENCEGAHAN
Pemerintah mempunyai peran yang sangat penting dalam hal pencegahan didalam batasan pornografi yang membawa dampak pada kesenjangan sosial  dalam kesusilaan, tentu saja hal ini juga tetap membutuhkan peran serta masyarakat dan kelompok.

a.       Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
b.      Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah berwenang:
c.       melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet;
d.      melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; dan
e.        melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri, dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
f.        Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah

Daerah berwenang:
1.      melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet di wilayahnya;
2.      melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya;
3.       melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya; dan mengembangkan sistem komunikasi, informasi, dan edukasi dalam rangka pencegahan pornografi di wilayahnya.
Peran Serta Masyarakat

Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 adalah dapat dilakukan dengan cara:
a.       melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini;
b.      melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan
c.        melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pornografi; dan
d.      melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi.

·        Ketentuan sebagaimana disebut diatas, pada  huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
·        Masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat huruf a berhak mendapat perlindungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan

PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN
DI SIDANG PENGADILAN

Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap pelanggaran pornografi dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang no 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

PEMUSNAHAN

1.      Pemusnahan dilakukan terhadap produk pornografi hasil perampasan.
2.      Pemusnahan produk pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penuntut umum dengan membuat berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:
a.       nama media cetak dan/atau media elektronik yang menyebarluaskan pornografi;
b.      nama, jenis, dan jumlah barang yang dimusnahkan;
c.       hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; dan
d.      keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang yang dimusnahkan

KETENTUAN PIDANA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 44 TAHUN 2008

Pasal 29
Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Pasal 30
Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 31
Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 32
Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 33
Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 34
Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 35
Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Pasal 36
Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 37
Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36, ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.

Pasal 38
Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan, atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 39
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 adalah kejahatan.

Pasal 40
1.      Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
2.      Tindak pidana pornografi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama.
3.      Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
4.      Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.
5.       Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
6.      Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
7.      Dalam hal tindak pidana pornografi yang dilakukan korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, dijatuhkan pula pidana denda terhadap korporasi dengan ketentuan maksimum pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini.

Pasal 41
Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (7), korporasi dapat dikenai pidana tambahan berupa:
a.       pembekuan izin usaha;
b.      pencabutan izin usaha;
c.       perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan
d.      pencabutan status badan hukum.

Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan Undang- Undang ini, telah dibentuk gugus tugas antar departemen, kementerian, dan lembaga terkait yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Presiden.

Share this article

0 comments:

Post a Comment

 
Copyright © 2014 BULETIN BORNEO • All Rights Reserved.
Distributed By Free Blogger Templates | Template Design by BTDesigner • Powered by Blogger
back to top